Khadratus Syaikh Kiai Haji M. Kholil
Bangkalan merupakan sosok yang waskita, serta memiliki pengetahuan spiritual
dan pandangan kasat mata. Beliau juga sebagai pakar dalam tata bahasa Arab,
khususnya kitab Alfiyah Ibnu Malik. Selain itu Beliau dikenal sebagai seorang
ahli fiqih dan tarekat. Bahkan, akhirnya Beliau dapat memadukan diantara
keduanya.
Masa mudanya, Kiai Kholil menempuh pendidikan agama diberbagai pesantren, tercatat pesantren yang Beliau jadikan tempat belajar adalah pesantren Langitan Tuban, Pesantren Cangaan Bangil Jawa Timur, dan yang terakhir adalah Pesantren Darussalam, Kebon Candi Pasuruan. Namun sayangnya tidak banyak data yang menceritakan apa saja yang Beliau pelajari disetiap pesantren dan berapa lama Beliau belajar.
Seusai menempuh pendidikan agama di pesantren Jawa Beliau berangkat ke Makkah guna menggali ilmu agama lebih dalam lagi. Selama menempuh pendidikan di Makkah, kebiasaan hidup sederhana dan prihatin Beliau jalankan. Beliau menerapkan sikap hidup zuhud, prilaku keseharian Kiai Kholil juga menampakkan keanehan dimata umum. Beliau sering makan kulit semangka ketimbang makanan yang wajar pada umumnya. Sedangkan minumnya dari air zam-zam. Kebiasaan itu dilakukannya terus-menerus selama empat tahun di Makkah.
Sepulangnya dari Makkah Beliau mulai menularkan ilmunya dengan mendirikan pondok pesantren. Kiai Kholil yang terkenal karomahnya tersebut, memiliki metode tersendiri dalam menggembleng santrinya. Beliau tidak mau hanya mengajar biasa saja, yaitu membaca kitab kuning, menyuruh santri mendengarkan dan menulis pelajaran, kemudian mempelajarinya, ataupun menghafalnya.
Kiai Kholil mempunyai cara tersendiri dalam menggembleng santrinya. Hal itu bisa dicontohkan bagaimana Beliau menggembleng Santri yang bernama Abdul Karim, pendiri dan pengasuh pondok Pesantren Lirboyo, Kediri. Waktu itu, Abdul Karim memang jauh-jauh datang dari Kediri ke Bangkalan guna nyantri pada Kiai Kholil. Ia mempersiapkan bekal, terutama bekal ekonomi. Ketika menginjakkan kakinya dipondok dan bertemu Kiai Kholil, semua bekal Abdul Karim diminta oleh Kiai Kholil sehingga pemuda ini tidak mempunyai apa-apa lagi.
Akhirnya, selama nyantri disana, sekitar lima tahun, ia sering kelaparan. Untungnya, Abdul Karim menerima perlakuan itu karena dia menganggap hal tersebut adalah sebagai syarat tertentu dari Sang Kiai Karomah ini. Dan benarlah, sepulang dari Bangkalan, ternyata santri ngenes ini berhasil mendirikan pesantren yang cukup besar dan disegani, yakni Pesantren Lirboyo, Kediri.
Aktivitas Kiai Kholil dalam berdakwah lebih pada penceritaan sebagai Kiai Karomah. Namun, penceritaan tersebut menunjukkan bahwa Beliau bukanlah seorang “tipe Ka’bah” atau intelektual menara gading, yang hanya berdiam diri dan asyik dengan keilmuannya didalam kamar atau pesantren. Kiai Kholil terjun langsung ke masyarakat, menjadi intelektual organik, dan selalu menerima kedatangan warga masyarakat dari semua golongan dan semua jenis keluhan yang dialaminya.
Banyak sekali karomah-karomah yang dimiliki Beliau, salah satunya adalah pada suatu hari petani mentimun di daerah Bangkalan sering mengeluh. Setiap mentimun yang siap dipanen selalu keduluan dicuri orang. Ini terjadi terus-menerus. Akhirnya, mereka tidak sabar lagi. Setelah bermuswarah, maka diputuskan untuk sowan ke Kiai Kholil. Sesampainya di-dalem, Kiai Kholil sebagaimana biasanya sedang mengajarkan nahwu kepada santri-santri.
Petani-petani tersebut mengutarakan permasalahannya kepada Beliau, serta ingin meminta penangkal agar ladang timun tidak kemalingan lagi. Ketika itu, kitab yang dikaji oleh Beliau kebetulan sampai pada kalimat qama Zaidun yang artinya, “Zaid telah berdiri”, dengan tegas dan mantap Beliau mengatakan inilah penangkalnya.
Para petani pun pulang kerumah mereka masing-masing dengan keyakinan kemujaraban penangkal dari Kiai Kholil. Keesokan harinya mereka mengecek di ladang masing-masing, betapa terkejutnya mereka, ketika melihat sejumlah pencuri timun berdiri terus-menerus tidak bisa duduk. Semua maling tetap berdiri dengan muka pucat pasi karena menjadi tontonan warga yang ingin melihatnya.
Kiai Kholil juga merupakan seorang yang getol melawan penjajahan. Namun, kiprah Beliau lebih banyak berada dibalik layar. Beliau tidak segan-segan memberikan suwuk dan ilmu karamahnya kepada para pejuang. Bahkan sempat saat peristiwa 10 Nopember 1945 perang Gerilya melawan tentara sekutu di Surabaya. Beliau mendatangkan pasukan lebah untuk menyerang musuh. Sehingga, tidak heran lawan-lawan yang bersenjatakan lengkap dan modern dapat dikalahkan oleh pejuang yang hanya bermodal bambu runcing.
Tidak ketinggalan kiprah Beliau dalam membidani organisasi Nahdlatul Ulama’. Secara tidak langsung Beliau memberikan “tongkat musa” kepada Khadratus Syaikh Hasyim Asy’ari sebagai perestuan Beliau. Akhirnya, tak lama kemudian terbentuklah Nahdlatul Ulama’ dari organisasi ini, memberikan sumbangsih dalam perumusan Pancasila, UUD 1945.
Buku ini ditulis berdasarkan data yang sangat minim. Dalam penyusunannya, penulis menggunakan metode kajian teks. Karena penulis mengakui, hampir dari semua pelosok pesantren mulai dari Madura sampai Jawa yang telah dikunjungi tidak mencatat kehidupan ulama yang besar ini. Begitu juga ketika penulis menelusuri pelbagai perpustakaan-perpustakaan besar. Malah yang lebih banyak dari rekam historis Kiai Kholil adalah cerita karomahnya. Memang tidak banyak data sejarah yang menunjukkan secara sistematis berkaitan dengan seluk, kehidupan, perjuangan, serta pemikiran Beliau(hlm. 53).
Buku ini sangat cocok bagi santri pondok salaf. Karena hal yang disajikan menggambarkan sosok Kiai Kholil yang sederhana, dan proporsional dengan keadaan santri. Dengan buku ini santri akan memiliki spirit baru dalam menuntut ilmu dipesantren.
Secara tidak langsung, buku ini memberikan sindiran yang membangun kepada kaum intelek yang suka menulis dan mempelajari biografi Kiai-Kiai besar di Jawatimur. Mengapa data sejarah mengenai Kiai Kholil sangat minim, sementara literatur tentang muridnya, misal KH. Hasyim Asya’ari Pendiri NU, KH. Wahab Hasbullah Pendiri Pondok Pesantren Tambak Beras, KH. Bisri Mustofa Pendiri Pesantren Rembang, KH. Muhammad Siddiq pendiri Pesantren Siddiqiyah lebih banyak?
Masa mudanya, Kiai Kholil menempuh pendidikan agama diberbagai pesantren, tercatat pesantren yang Beliau jadikan tempat belajar adalah pesantren Langitan Tuban, Pesantren Cangaan Bangil Jawa Timur, dan yang terakhir adalah Pesantren Darussalam, Kebon Candi Pasuruan. Namun sayangnya tidak banyak data yang menceritakan apa saja yang Beliau pelajari disetiap pesantren dan berapa lama Beliau belajar.
Seusai menempuh pendidikan agama di pesantren Jawa Beliau berangkat ke Makkah guna menggali ilmu agama lebih dalam lagi. Selama menempuh pendidikan di Makkah, kebiasaan hidup sederhana dan prihatin Beliau jalankan. Beliau menerapkan sikap hidup zuhud, prilaku keseharian Kiai Kholil juga menampakkan keanehan dimata umum. Beliau sering makan kulit semangka ketimbang makanan yang wajar pada umumnya. Sedangkan minumnya dari air zam-zam. Kebiasaan itu dilakukannya terus-menerus selama empat tahun di Makkah.
Sepulangnya dari Makkah Beliau mulai menularkan ilmunya dengan mendirikan pondok pesantren. Kiai Kholil yang terkenal karomahnya tersebut, memiliki metode tersendiri dalam menggembleng santrinya. Beliau tidak mau hanya mengajar biasa saja, yaitu membaca kitab kuning, menyuruh santri mendengarkan dan menulis pelajaran, kemudian mempelajarinya, ataupun menghafalnya.
Kiai Kholil mempunyai cara tersendiri dalam menggembleng santrinya. Hal itu bisa dicontohkan bagaimana Beliau menggembleng Santri yang bernama Abdul Karim, pendiri dan pengasuh pondok Pesantren Lirboyo, Kediri. Waktu itu, Abdul Karim memang jauh-jauh datang dari Kediri ke Bangkalan guna nyantri pada Kiai Kholil. Ia mempersiapkan bekal, terutama bekal ekonomi. Ketika menginjakkan kakinya dipondok dan bertemu Kiai Kholil, semua bekal Abdul Karim diminta oleh Kiai Kholil sehingga pemuda ini tidak mempunyai apa-apa lagi.
Akhirnya, selama nyantri disana, sekitar lima tahun, ia sering kelaparan. Untungnya, Abdul Karim menerima perlakuan itu karena dia menganggap hal tersebut adalah sebagai syarat tertentu dari Sang Kiai Karomah ini. Dan benarlah, sepulang dari Bangkalan, ternyata santri ngenes ini berhasil mendirikan pesantren yang cukup besar dan disegani, yakni Pesantren Lirboyo, Kediri.
Aktivitas Kiai Kholil dalam berdakwah lebih pada penceritaan sebagai Kiai Karomah. Namun, penceritaan tersebut menunjukkan bahwa Beliau bukanlah seorang “tipe Ka’bah” atau intelektual menara gading, yang hanya berdiam diri dan asyik dengan keilmuannya didalam kamar atau pesantren. Kiai Kholil terjun langsung ke masyarakat, menjadi intelektual organik, dan selalu menerima kedatangan warga masyarakat dari semua golongan dan semua jenis keluhan yang dialaminya.
Banyak sekali karomah-karomah yang dimiliki Beliau, salah satunya adalah pada suatu hari petani mentimun di daerah Bangkalan sering mengeluh. Setiap mentimun yang siap dipanen selalu keduluan dicuri orang. Ini terjadi terus-menerus. Akhirnya, mereka tidak sabar lagi. Setelah bermuswarah, maka diputuskan untuk sowan ke Kiai Kholil. Sesampainya di-dalem, Kiai Kholil sebagaimana biasanya sedang mengajarkan nahwu kepada santri-santri.
Petani-petani tersebut mengutarakan permasalahannya kepada Beliau, serta ingin meminta penangkal agar ladang timun tidak kemalingan lagi. Ketika itu, kitab yang dikaji oleh Beliau kebetulan sampai pada kalimat qama Zaidun yang artinya, “Zaid telah berdiri”, dengan tegas dan mantap Beliau mengatakan inilah penangkalnya.
Para petani pun pulang kerumah mereka masing-masing dengan keyakinan kemujaraban penangkal dari Kiai Kholil. Keesokan harinya mereka mengecek di ladang masing-masing, betapa terkejutnya mereka, ketika melihat sejumlah pencuri timun berdiri terus-menerus tidak bisa duduk. Semua maling tetap berdiri dengan muka pucat pasi karena menjadi tontonan warga yang ingin melihatnya.
Kiai Kholil juga merupakan seorang yang getol melawan penjajahan. Namun, kiprah Beliau lebih banyak berada dibalik layar. Beliau tidak segan-segan memberikan suwuk dan ilmu karamahnya kepada para pejuang. Bahkan sempat saat peristiwa 10 Nopember 1945 perang Gerilya melawan tentara sekutu di Surabaya. Beliau mendatangkan pasukan lebah untuk menyerang musuh. Sehingga, tidak heran lawan-lawan yang bersenjatakan lengkap dan modern dapat dikalahkan oleh pejuang yang hanya bermodal bambu runcing.
Tidak ketinggalan kiprah Beliau dalam membidani organisasi Nahdlatul Ulama’. Secara tidak langsung Beliau memberikan “tongkat musa” kepada Khadratus Syaikh Hasyim Asy’ari sebagai perestuan Beliau. Akhirnya, tak lama kemudian terbentuklah Nahdlatul Ulama’ dari organisasi ini, memberikan sumbangsih dalam perumusan Pancasila, UUD 1945.
Buku ini ditulis berdasarkan data yang sangat minim. Dalam penyusunannya, penulis menggunakan metode kajian teks. Karena penulis mengakui, hampir dari semua pelosok pesantren mulai dari Madura sampai Jawa yang telah dikunjungi tidak mencatat kehidupan ulama yang besar ini. Begitu juga ketika penulis menelusuri pelbagai perpustakaan-perpustakaan besar. Malah yang lebih banyak dari rekam historis Kiai Kholil adalah cerita karomahnya. Memang tidak banyak data sejarah yang menunjukkan secara sistematis berkaitan dengan seluk, kehidupan, perjuangan, serta pemikiran Beliau(hlm. 53).
Buku ini sangat cocok bagi santri pondok salaf. Karena hal yang disajikan menggambarkan sosok Kiai Kholil yang sederhana, dan proporsional dengan keadaan santri. Dengan buku ini santri akan memiliki spirit baru dalam menuntut ilmu dipesantren.
Secara tidak langsung, buku ini memberikan sindiran yang membangun kepada kaum intelek yang suka menulis dan mempelajari biografi Kiai-Kiai besar di Jawatimur. Mengapa data sejarah mengenai Kiai Kholil sangat minim, sementara literatur tentang muridnya, misal KH. Hasyim Asya’ari Pendiri NU, KH. Wahab Hasbullah Pendiri Pondok Pesantren Tambak Beras, KH. Bisri Mustofa Pendiri Pesantren Rembang, KH. Muhammad Siddiq pendiri Pesantren Siddiqiyah lebih banyak?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar